abcd

Yoppa

nuffnang

Lamaah Ke-3


Tiap-tiap sesuatu akan binasa melainkan Zat Allah. BagiNyalah kuasa memutuskan segala hukum, dan kepadaNyalah kamu semua dikembalikan
(Al-Qasas [28]:88)
Ayat al-Quran di atas ditafsirkan oleh dua kalimah yang menjelaskan dua hakikat penting yang oleh sekelompok guru Tarekat Naqsyabandiyah dijadikan sebagai pengisian wirid mereka ketika mereka melakukan khatam al-Quran secara khusus. Bunyi kedua kalimah tersebut adalah:
يَا بَاقِي اَنْتَ الْبَاقِي، يَا بَاقِي اَنْتَ الْبَاقِي
Wahai Yang Maha kekal, Engkaulah Yang Maha Kekal. Wahai Yang Maha Kekal, Engkaulah Yang Maha Kekal.
Karena kedua kalimat itu termasuk dalam pengertian makna Ayat di atas, kami akan menyebutkan beberapa catatan untuk menjelaskan dua hakikat yang menggambarkan keduanya

1. PENGOSONGAN QALBU DARI SEGALA SESUATU SELAIN ALLAH

Pengulangan kata Ya Baqi Anta al-Baqi pada bahagian yang pertama adalah bagi mengosongkan hati daripada segalanya selain Allah Taala. Dalam hal ini, ia ibarat sebuah operasi pembedahan dengan memutuskan mata hati dari segala hal selain Allah. Jelasnya adalah sebagai berikut:

Dengan intipati yang komprehensif, manusia memiliki beraneka jenis ikatan dengan sebahagian besar entiti. Dalam pengisian tersebut, terdapat dorongan kepada cinta tak terbatas yang mampu membuat manusia memiliki kecintaan mendalam terhadap kewujudan sesuatu pada umumnya. Ia mencintai dunia yang besar ini sebagaimana ia mencintai rumahnya. Ia juga mencintai syurga yang kekal sebagaimana ia mencintai tamannya. Padahal, seluruh perkara yang dicintai manusia itu menjadi tidak kekal. Semuanya menjadi pudar dan lenyap. Oleh kerana itu, manusia sentiasa merasa terseksa akibat kepedihan perpisahan. Disinilah kecintaan yang kuat itu menjadi faktor utama yang membuatkan batinnya begitu terseksa. Kerana telah berlaku pencerobohan dalam ruang perasaan cintanya itu. Pencerobohan itu sendiri menjadi punca kepelbagaian derita yang dialaminya. Padahal, Allah sengaja memberkati manusia dengan perasaan cinta di atas untuk diarahkan kepada Pemilik keindahan yang benar-benar abadi (Allah). Namun, manusia cenderung mengarahkan cintanya pada perkara yang fana sementara. Akhirnya, ia pun merasakan berbagai penderitaan akibat pedihnya perpisahan.

Pengulangan kalimah Ya Baqi Anta al-Baqi adalah bererti bagi melepaskan diri si pecinta dari kecerobohan di atas, ia memutuskan ikatan cinta terhadap sesuatu yang bersifat fana, berpisah dari semua yang ia cintai sebelum semua yang dicintainya itu berpisah dengannya. Seterusnya, ia hanya memberikan perhatian pada Kekasih yang kekal abadi, iaitu Allah Ta’ala semata-mata.

Pengertian dari ucapan tersebut adalah,
“Tidak ada yang benar-benar kekal kecuali Engkau wahai Tuhanku. Segala sesuatu selain-Mu bersifat fana dan sementara. Sementara sesuatu yang bersifat sementara tak layak untuk mendapat cinta abadi dan tak layak untuk diikatkan secara kuat kepada qalbu yang pada dasarnya telah dicipta untuk kekal abadi. Kerana semua sesuatu yang ada bersifat fana dan akan meninggalkanku, maka aku akan meninggalkannya sebelum ia meninggalkanku dengan mengucap Ya Baqi Anta al-Baqi secara berulang-ulang”.
Maksudnya disini adalah: Aku yakin dan percaya bahawa tidak ada apa-apa yang kekal kecuali Engkau, wahai Tuhanku. Kekekalan sesuatu bergantung kepada bagaimana Engkau membuatnya menjadi kekal. Dengan demikian, ia hanya boleh dicintai selagi ia tidak keluar dari cahaya cinta-Mu. Jika sebaliknya, ia tak layak mempunyai kaitan dengan qalbu.

Keadaan di atas akan membuat hati bersih dari segala sesuatu yang tadinya sangat dicintai. Manusia akan meyedari bahawa segala sesuatu yang ia lihat indah hanya bersifat sementara. Ketika itulah, ikatan yang pada mulanya mengikat hati dengan segala perkara dunia akan terputus. Namun jika hatinya masih tidak bersih daripada sebarang perkara yang dicintai, maka apa yang berlaku adalah sebaliknya. Berbagai luka, keseksaan, dan penyesalan akan terpancar keluar dari sudut hati setaraf dengan nilai entiti fana yang dicintainya.

Lalu kalimah kedua yang berbunyi sama, ya Baqi Anta al-Baqi, berkedudukan sebagai ubat penyembuh dan minyak urut berkesan, Ia disertakan pada ketika operasi bedah yang dilakukan kalimah pertama terhadap qalbu beserta segala ikatannya. Maksud kalimah kedua tersebut adalah, “Cukuplah Engkau wahai Tuhanku sebagai Dzat Yang Maha Kekal. Kekekalan-Mu menggantikan segala sesuatu. Karena Engkau ada, segala sesuatu pun menjadi ada”.

Segala sesuatu yang terlihat baik, bagus, dan sempurna—sehingga dicintai oleh manusia—tidak lain merupakan petunjuk akan kebaikan dan kesempurnaan Dzat Yang Maha Kekal. Kebaikan dan kesempurnaan tersebut adalah pancaran lembut dari-Nya yang menembus dari balik tirai yang tebal. Bahkan ia merupakan pancaran dari manifestasi nama-nama Allah yang mulia.

2. FITRAH MANUSIA YANG MENGINGINKAN KEABADIAN

Dalam fitrah manusia ada keinginan yang sangat kuat terhadap keabadian. Sampai-sampai ia berangan-angan agar semua yang ia cintai bersifat abadi. Bahkan, ia hanya mau mencintai sesuatu yang disangkanya abadi. Akan tetapi, ketika ia menyadari bahwa apa yang dicintainya hanya bersifat sementara atau ia menyaksikan bahwa apa yang dicintainya itu musnah, ia akan segera mengalami kesedihan yang mendalam. Ya, semua ratapan yang muncul akibat adanya perpisahan adalah merupakan ungkapan tangisan yang bersumber dari kecintaan terhadap keabadian. Seandainya manusia tidak mengkhayalkan adanya keabadian, ia tidak akan mencintai sesuatu.

Bahkan bisa dikatakan bahwa yang menjadi salah satu sebab adanya alam keabadian dan surga yang kekal adalah karena kecintaan yang sangat kuat terhadap keabadian yang tertanam pada fitrah manusia, serta kerana doanya yang umum dan menyeluruh untuk bisa kekal. Maka, Allah Yang Maha Kekal mengabulkan keinginan dan doa tersebut. Allah menciptakan bagi manusia yang fana sebuah alam yang kekal dan abadi.

Sebab, mana mungkin Sang Pencipta Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih mengabulkan doa perut yang berukuran kecil saja yang dipanjatkan lewat lisanul hal (perbuatan) dengan menciptakan untuknya beragam makanan lezat yang tak terhingga, sementara tidak mengabulkan doa yang dipanjatkan manusia dengan ucapan, lisanul hal, dengan terus-menerus dan kulli (secara utuh), keinginan kuat yang bersumber dari kebutuhan fitrinya? Naudzu Billah, Karena itu, sangat mustahil Allah mengabaikan doa manusia. Sebab, sikap mengabaikan doa tidak sesuai dengan kebijaksanaan, keadilan, rahmat, kekuasaan-Nya.

Selama manusia sangat mencintai keabadian, pastilah semua kesempurnaan dan perasaannya tergantung pada keabadian itu. Selama kekekalan tersebut menjadi sifat istimewa Dzat Yang Maha Kekal Yang Memiliki Keagungan, maka seluruh nama-Nya yang mulia juga ikut kekal. Semua cermin yang memantulkan manifestasi nama-nama tersebut diwarnai keabadian dan mengambil hukumnya. Maksudnya, semua nama tersebut juga memperoleh sejenis keabadian. Maka itu, yang paling utama untuk dilakukan manusia serta tugas paling agung yang dimiliki manusia adalah menguatkan ikatan dan hubungan dengan Dzat Yang Maha Kekal Dan Agung serta berpegang dengan nama-nama-Nya yang mulia. Sebab, apa yang dikorbankan di jalan Dzat Yang Maha Kekal, juga akan menerima sejenis sifat kekal.

Hakikat ini dijelaskan oleh kalimat kedua, ya Baqi Anta al-Baqi. Dia tidak hanya menyembuhkan “luka” maknawi manusia yang tak terhingga, tetapi juga memenuhi keinginan kuatnya untuk bisa kekal seperti yang tertanam dalam fitrahnya.

Dalam fitrah manusia ada keinginan yang sangat kuat terhadap keabadian. Sampai-sampai ia berangan-angan agar semua yang ia cintai bersifat abadi. Bahkan, ia hanya mau mencintai sesuatu yang disangkanya abadi. Akan tetapi, ketika ia menyadari bahwa apa yang dicintainya hanya bersifat sementara atau ia menyaksikan bahwa apa yang dicintainya itu musnah, ia akan segera mengalami kesedihan yang mendalam. Ya, semua ratapan yang muncul akibat adanya perpisahan adalah merupakan ungkapan tangisan yang bersumber dari kecintaan terhadap keabadian. Seandainya manusia tidak mengkhayalkan adanya keabadian, ia tidak akan mencintai sesuatu.

Bahkan boleh dikatakan bahwa yang menjadi salah satu punca wujudnya alam kehidupan abadi dan syurga yang kekal adalah kerana perasaan cinta yang sangat kuat terhadap keabadian yang tertanam pada fitrah manusia, serta kerana doanya yang umum dan menyeluruh untuk menjadi kekal. Maka, Allah Yang Maha Kekal mengabulkan keinginan dan doa tersebut. Allah menciptakan bagi manusia yang fana sebuah alam yang kekal dan abadi.

Sebab, mana mungkin Sang Pencipta Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih mengabulkan doa perut yang berukuran kecil saja yang dipanjatkan lewat lisanul hal (perbuatan) dengan menciptakan untuknya beragam makanan lezat yang tak terhingga, sementara tidak mengabulkan doa yang dipanjatkan manusia dengan ucapan, lisanul hal, dengan terus-menerus dan kulli (secara utuh), keinginan kuat yang bersumber dari kebutuhan fitrinya? Naudzu Billah. Dengan itu, sangat mustahil Allah mengabaikan doa manusia. Sebab, sikap mengabaikan doa tidak sesuai dengan kebijaksanaan, keadilan, rahmat, kekuasaan-Nya.

Selama manusia sangat mencintai keabadian, pastilah semua kesempurnaan dan perasaannya tergantung pada keabadian itu. Selama kekekalan tersebut menjadi sifat istimewa Dzat Yang Maha Kekal Yang Memiliki Keagungan, maka seluruh nama-Nya yang mulia juga ikut kekal. Semua cermin yang memantulkan manifestasi nama-nama tersebut diwarnai keabadian dan mengambil hukumnya. Maksudnya, semua nama tersebut juga memperoleh sejenis keabadian. Maka itu, yang paling utama untuk dilakukan manusia serta tugas paling agung yang dimiliki manusia adalah menguatkan ikatan dan hubungan dengan Dzat Yang Maha Kekal Dan Agung serta berpegang dengan nama-nama-Nya yang mulia. Sebab, apa yang dikorbankan di jalan Dzat Yang Maha Kekal, juga akan menerima sejenis sifat kekal.

Hakikat ini dijelaskan oleh kalimat kedua, ya Baqi Anta al-Baqi. Dia tidak hanya menyembuhkan “luka” maknawi manusia yang tak terhingga, tetapi juga memenuhi keinginan kuatnya agar dapat kekal seperti yang tertanam dalam fitrahnya.

3. PERBEDAAN PENGARUH WAKTU TERHADAP MUSNAHNYA SESUATU DAN PERUBAHAN UMUR YANG FANA KEPADA KEKAL

Dalam kehidupan dunia ini, pengaruh waktu terhadap musnahnya segala sesuatu berbeda-beda. Walaupun semua entitas, antara yang satu dengan lainnya, saling mengitari seperti lingkaran yang saling bersambung, namun dilihat dari kemusnahannya ada perbedaan yang sangat mencolok.

Sebagaimana pergerakan jarum detik, menit, dan jam berbeda kecepatan meskipun bentuk lahiriahnya sama, demikian pula dengan kondisi manusia. Pengaruh waktu terhadap kondisi jasmani, jiwa, kalbu, dan ruh manusia berbeda-beda. Anda menyaksikan bahwa kehidupan, keabadian, dan keberadaan wujud jasmani hanya terbatas pada hari atau pada saat ia hidup. la terputus dari masa lalu dan masa depan. Lalu Anda menyaksikan bahwa kehidupan dan domain keberadaan kalbu membentang-luas hingga mencakup beberapa hari sebelum dan sesudahnya. Bahkan kehidupan dan domain ruh jauh lebih besar dan jauh lebih luas. Ia mencakup beberapa tahun sebelumnya dan sesudahnya.

Demikianlah, atas dasar itu, sesungguhnya disamping umur manusia yang fana terdapat umur lain yang bersifat kekal ditinjau dari sisi kehidupan kalbu dan rohaninya. Keduanya akan terus hidup lewat adanya pengenalan terhadap Tuhan, kecintaan pada- Nya, pengabdian kepada-Nya, serta keridhoan-Nya. Bahkan, umur kekal ini akan mengantar kepada alam yang abadi. Sehingga umur yang fana tadi akan berkedudukan seperti umur yang kekal abadi. Ya, satu detik yang dihabiskan manusia di jalan Dzat Yang Maha Kekal, di jalan cinta-Nya, di jalan makrifah-Nya, dan dalam rangka mencari ridho-Nya, akan terhitung satu tahun penuh. Bahkan ia akan abadi tak pernah musnah. Sementara waktu satu tahun yang tidak dipergunakan di jalan-Nya, terhitung satu detik. Maka, seratus tahun usia orang-orang yang lalai tidak lebih dari satu detik dari sisi dunia.

Ada sebuah ungkapan terkenal yang menjelaskan hakikat tersebut. Bunyinya, “Berpisah sekejap seolah-olah satu tahun, sementara satu tahun bersua seolah-olah sekejap”. Artinya, berpisah satu detik saja terasa sangat lama sehingga seolah-olah satu tahun. Sedangkan bersua selama satu tahun terasa sangat singkat seolaholah hanya satu detik.

Hanya saja, aku mempunyai pandangan berbeda dengan ungkapan di atas. Menurutku, satu detik yang dipergunakan manusia dalam sesuatu yang diridhoi Allah Ta’ala, serta di jalan Dzat Yang Maha Kekal dan Agung—yaitu satu detik perjumpaan— tidak hanya seperti satu tahun. Tetapi ia seperti sebuah jendela perjumpaan yang kekal abadi. Adapun perpisahan yang bersumber dari kelalaian dan kesesatan, tidak hanya membuat waktu satu tahun menjadi seperti satu detik.

Bahkan ribuan tahun pun menjadi seperti satu detik. Ada lagi pepatah yang lebih terkenal daripada sebelumnya yang memperkuat penjelasan di atas. Makna dari pepatah tersebut adalah, “Tanah lapang jika bersama musuh seolah seluas cangkir. Sementara lobang jarum jika bersama kekasih seolah seperti lapangan”.

Jika kita ingin menjelaskan sisi kebenaran dari pepatah di atas adalah sebagai berikut:

Perjumpaan segala entitas fana sangatlah singkat sebab ia bersifat fana. Betapapun lamanya, ia hanya berlangsung sekilas lalu berubah menjadi kenangan menyedihkan dan mimpi yang menyebabkan duka. Kalbu manusia yang merindukan keabadian hanya menikmati kelezatan yang hanya seukuran satu detik saja dalam satu tahun perjumpaan dengan entitas tersebut. Sementara saat perpisahan dengannya terasa sangat panjang dan luas. Satu detik mencakup berbagai macam perpisahan selama satu tahun bahkan selama bertahun-tahun. Kalbu yang rindu pada keabadian akan merasa sakit ketika berpisah satu detik saja seolah-olah ia diterpa oleh berbagai derita akibat perpisahan selama bertahun-tahun. Sebab, perpisahan tersebut mengingatkannya pada aneka macam perpisahan yang tak terhitung banyaknya. Demikianlah, masa lalu dan masa depan dari semua bentuk kecintaan terhadap materi penuh dengan aneka macam perpisahan.

Terkait dengan hal itu, kami ingin bertanya, “Wahai manusia, apakah engkau ingin mengubah umurmu yang singkat menjadi umur yang kekal, panjang, bermanfaat dan menghasilkan keuntungan?”

Jika jawabannya ya, berarti sesuai dengan fitrah manusia. Kalau begitu, pergunakanlah umurmu di jalan Allah Yang Maha Kekal. Sebab, apa saja yang mengarah pada Dzat Yang Maha Kekal akan memperoleh bagian dari manifestasi-Nya yang kekal.

Ketika manusia sangat menginginkan umur yang panjang dan rindu pada keabadian, sementara ada sebuah sarana di hadapannya untuk mengubah umur yang fana menjadi umur yang kekal. Selama sifat manusiawinya masih ada, ia pasti akan mencari sarana tersebut. Ia akan segera berusaha mengubah apa yang tersembunyi itu menjadi sebuah perbuatan konkret dan bergerak sesuai dengan tujuan tersebut.

Karena itu, pergunakanlah sarana tersebut! Berbuatlah untuk Allah, bersualah demi Allah, serta berusahalah karena Allah. Jadikan semua gerakanmu dalam naungan ridho Allah (Untuk Allah, demi Allah, dan karena Allah). Dari situ engkau akan menyaksikan bahwa menit per menit dari umurmu yang singkat menjadi senilai tahunan. Hakikat ini ditunjukkan oleh Laylatul Qadri. Meskipun ia hanya satu malam, tetapi ia lebih baik daripada seribu bulan sesuai dengan bunyi ayat al-Quran. Artinya ia senilai delapan puluh tahun lebih.

Petunjuk lainnya adalah sebuah kaidah yang telah ditetapkan oleh para wali dan ahli hakikat. Yaitu masalah ‘pengerutan waktu’ yang ditunjukkan secara nyata oleh peristiwa Mikraj Nabi SAW. Dalam peristiwa tersebut, hitungan detik dikerutkan menjadi hitungan tahun. Apalagi dengan hitungan jamnya, ia menjadi begitu luas dan panjang seukuran ribuan tahun. Sebab, dengan peristiwa Mikraj tersebut, Nabi SAW. telah memasuki alam baka (keabadian). Beberapa menit dari alarn keabadian senilai ribuan tahun ukuran dunia.

Adanya pembentangan waktu tersebut juga diperkuat oleh berbagai peristiwa yang pernah dialami oleh para wali yang saleh. Ada di antara mereka yang melakukan amal-amal perbuatan satu hari hanya dalam satu detik. Ada lagi yang menyelesaikan tugas dan kewajiban satu tahun hanya dalam satu jam. Serta ada pula di antara mereka yang mengkhatamkan al-Quran hanya dalam satu menit.

Demikianlah, berbagai riwayat di atas dan yang sejenisnya, tidak diragukan lagi adanya. Sebab, para penyampai riwayat tersebut adalah orang-orang yang jujur dan saleh. Mereka tak memiliki sifat bohong. Apalagi peristiwanya sudah mutawatir dan seringkali terjadi. Mereka menyampaikan riwayat tersebut seolaholah menyaksikan secara langsung. Tak ada yang diragukan. Pengerutan waktu tersebut merupakan sebuah kenyataan tak terbantahkan*. Pengerutan waktu dapat terlihat pada mimpi yang dibenarkan oleh semua orang. Bisa jadi dalam satu menit mimpi saja, ia dapat mengalami berbagai kondisi, bisa berbincang-bincang, merasakan aneka kenikmatan, serta merasakan siksa yang dalam waktu sadar membutuhkan waktu satu hari, atau bahkan membutuhkan waktu berhari-hari.

Sebagai kesimpulan, pada dasarnya manusia adalah makhluk yang fana. Hanya saja ia kemudian diciptakan kekal abadi. Allah, Sang Pencipta Yang Maha Mulia, menciptakan manusia dalam kondisi seperti cermin yang memantulkan manifestasi-Nya yang kekal. Allah juga membebaninya dengan berbagai kewajiban yang membuahkan hasil yang kekal, serta membentuknya dalam bentuk yang paling baik agar bisa menjadi tempat dituliskannya berbagai manifestasi dari nama-nama-Nya yang mulia dan kekal. Karena itu, kebahagiaan dan kewajiban manusia yang paling mendasar adalah terletak pada bagaimana ia menghadapkan wajah kepada Dzat Yang Maha Kekal dengan segenap upaya, raga, dan seluruh potensi fitrahnya, berjalan melangkah di jalan keabadian. Sebagaimana lisannya mengucapkan Ya Baqi Anta al-Baqi, begitu juga seluruh inderanya berupa kalbu, ruh, dan akal mengucapkan:

هُوَ الْبَاقِي، هُوَ الاَزَلِّيْ الْأَبَدِي، هُوَ السَّرْمَدِيْ، هُوَ الدَّائِمُ، هُوَ المَطْلُوبِ، هُوَ المَحْبُوبُ، هُوَ الْمقْصُوْدُ، هُوَ المَعْبُوْدُ
Dialah Yang Maha Kekal. Dialah Yang Maha Azali dan Abadi. Dialah Yang Tak pernah berakhir. Dialah Yang Maha Permanen. Dialah Yang Maha Diminta. Dialah Yang Maha Dicinta. Dialah Yang Maha Dituju. Serta Dialah Yang Maha Disembah.
 سُبۡحَـٰنَكَ لَا عِلۡمَ لَنَآ إِلَّا مَا عَلَّمۡتَنَآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَلِيمُ ٱلۡحَكِيمُ
Maha suci Engkau (Ya Allah)! Kami tidak mempunyai pengetahuan selain dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkau jualah yang Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana. [al-Baqarah (2) : 32]
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَا‌
Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau mengirakan kami salah jika kami lupa atau kami tersalah.) [al-Baqarah (2) : 286]


Firman Allah S.W.T:


قَالَ قَآٮِٕلٌ۬ مِّنۡہُمۡ ڪَمۡ لَبِثۡتُمۡ ۖ   قَالُواْ لَبِثۡنَا يَوۡمًا أَوۡ بَعۡضَ يَوۡمٍ۬‌
“Salah seorang dari mereka bertanya, ‘Sudah berapa lama kamu berada di sini?’” (al-Kahfi [18]: 19).


وَلَبِثُواْ فِى كَهۡفِهِمۡ ثَلَـٰثَ مِاْئَةٍ۬ سِنِينَ وَٱزۡدَادُواْ تِسۡعً۬ا
Mereka tinggal dalam gua selama tiga ratus tahun ditambah sembilan tahun lagi.” (al-Kahfi [18]: 25)

Dua ayat di atas menunjukkan adanya pelipatan waktu sebagaimana ayat berikut ini menunjukkan pembentangan waktu.


وَإِنَّ يَوۡمًا عِندَ رَبِّكَ كَأَلۡفِ سَنَةٍ۬ مِّمَّا تَعُدُّونَ
“Sesungguhnya satu hari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (al-Hajj [22]: 47)