abcd

Yoppa

nuffnang

Lamaah Keempat





Jawapannya: Dengan pandangan kenabian yang menembusi alam ghaib, Rasulullah ﷺ mengetahui bahawa keturunannya akan berkedudukan seperti pohon yang bersinar terang dan besar di seluruh dunia Islam. Mereka yang mengantarkan berbagai lapisan masyarakat muslim kepada petunjuk dan kebaikan serta yang menjadi contoh pribadi manusia sempurna, sebahagian besarnya akan berasal dari keluarga baginda.

Baginda juga mengetahui pengabulan doa umatnya yang terkait dengan ahlul bait seperti terdapat dalam tasyahhud berikut ini:

اَللَّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰۤى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ  
   عَلٰۤى اِبْرَاهِيمَ وَعَلٰۤى اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيد
Ertinya, sebagaimana sebahagian besar para pembimbing dan pemberi petunjuk atas agama Ibrahim itu terdiri dari para nabi yang berasal dari keturunan dan keluarganya, demikian pula para tokoh ahlul bait berposisi seperti para nabi Bani Israil bagi umat Muhammad. Mereka melaksanakan tugas agung dengan mengabdi kepada Islam dalam berbagai aspek. Oleh kerana itu, Rasulullah SAW diperintahkan untuk berkata, قُلْ لاَۤ اَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ اَجْرًا اِلاَّ الْمَوَدَّةَ فِى الْقُرْبىٰ. la meminta kepada umat ini agar mencintai keluarga baginda (ahlul bait). Hal ini didukung oleh beberapa riwayat lain. Nabi SAW pernah bersabda, “Wahai manusia, aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang jika kalian berpegang padanya kalian takkan tersesat. Yaitu kitabullah (al-Quran) dan keturunanku” (ahlul bait [Sunnah])(3) . Sebab, ahlul bait merupakan sumber dari Sunnah Nabi yang mulia sekaligus pemelihara dan pihak pertama yang harus komitmen padanya.

Dengan demikian hakikat hadis di atas menjadi jelas. Yaitu ia berisi perintah untuk mengikuti al-Quran dan as-Sunnah yang mulia. Jadi, yang dimaksud dengan ahlul bait di sini—ditinjau dari sisi tugas kerasulan—adalah mengikuti sunnah Nabi  Dengan demikian, orang yang meninggalkan sunnah yang mulia sebenarnya tidak termasuk ahlul bait. Ia juga tidak termasuk pengikut ahlul bait yang hakiki.

Kemudian hikmah yang dapat dipetik dari keinginan Nabi ﷺ untuk mengumpulkan seluruh umatnya di sekitar ahlul bait adalah kerana baginda mengetahui—dengan izin Tuhan—bahawa keturunan ahlul bait akan bertambah banyak seiring perjalanan waktu, sementara Islam akan kembali melemah. Dengan kondisi semacam itu, harus ada komunitas yang saling mendukung dan saling menopang dalam jumlah dan kekuatan besar guna menjadi pusat dan sentral dunia Islam secara moral. Rasulullah SAW telah mengetahui hal itu. Maka, baginda menginginkan umatnya berkumpul di sekitar keturunannya.

Meskipun ada individu-individu dari kalangan ahlul bait yang tidak lebih unggul dari lainnya dalam masalah iman dan keyakinan. Namun mereka adalah orang-orang yang jauh lebih dulu tunduk, berkomitmen, dan mendukung Islam. Sebab secara fitrah, secara tabiat, dan keturunan, mereka memang telah loyal terhadap Islam, Loyalitas alamiah tersebut tak pernah hilang walaupun berada dalam kondisi lemah, tak dikenal, atau bahkan walaupun berada dalam kebatilan. Jika demikian, bagaimana dengan loyalitas terhadap sebuah hakikat yang dimiliki oleh nenek moyang mereka, yang demi hakikat tersebut mereka rela mengorbankan jiwanya hingga memperoleh kemuliaan. Hakikat tersebut benar-benar berada dalam puncak kekuatan, kemuliaan, dan di atas kebenaran.

Maka, mungkinkah orang yang secara spontan merasakan kebenaran loyalitas alamiah tersebut akan meninggalkannya? Dengan komitmen fitri mereka yang sangat kuat terhadap Islam, ahlul bait memandang sebuah petunjuk Islam yang sederhana sekalipun sebagai bukti yang kuat. Sebab mereka memang telah memiliki loyalitas fitri terhadap Islam. Adapun orang lain, mereka baru memberikan komitmen setelah adanya bukti yang kuat.

4. Nuktah Keempat


Terkait dengan nuktah ketiga di atas ada sebuah isyarat singkat yang mengarah pada masalah yang sangat besar sampaisampai ia masuk ke dalam pembahasan buku-buku akidah dan termuat bersama pokok-pokok keimanan. la adalah masalah yang memicu perselisihan antara kalangan Ahlu Sunnah dan Syiah. Masalah tersebut adalah sebagai berikut:

Kalangan Ahlu Sunnah berpendapat bahawa Imam Ali RA merupakan khalifah yang keempat di antara para Khulafa ar-Rasyidin. Abu Bakar as-Siddiq RA lebih utama dan paling berhak terhadap kekhalifahan. kerana itu, dialah yang pertama-tama menerima tongkat kekhalifahan.

Namun menurut kalangan Syiah, “Hak kekhalifahan tersebut berada di tangan Ali RA Hanya saja ia kemudian dizalimi. Ali lah yang paling utama dari semua khalifah yang ada”. Kesimpulan dari keseluruhan argumen mereka adalah bahawa banyak sekali hadis yang menyebutkan keutamaan Saidina Ali RA Ia merupakan rujukan bagi sebahagian besar wali dan jalan-jalan sufi sehingga ia disebut sebagai Sultanul awliya (pemimpin para wali). Selain itu, ia memiliki berbagai kemuliaan baik dalam hal pengetahuan, keberanian, dan ibadah. Terlebih lagi, Rasulullah SAW telah memperlihatkan hubungan yang sangat kuat dengannya dan dengan ahlul bait yang berasal dari keturunannya. Semua itu menjadi petunjuk bahawa Ali RA adalah yang paling utama. Jadi, kekhalifahan merupakan haknya, hanya saja kekhalifahan itu kemudian dirampas darinya.

Jawaban dari pernyataan di atas adalah sebagai berikut: Pengakuan berulang kali yang diberikan oleh Saidina Ali RA dan para pengikutnya terhadap tiga khalifah sebelumnya, pengangkatan dirinya sebagai Syaikhul qudhot (Hakim Tertinggi) selama 20 tahun lebih, merupakan kenyataan yang membantah klaim kalangan Syiah. Apalagi berbagai kemenangan Islam dan perjuangan melawan para musuh berlangsung di masa tiga khalifah sebelumnya. Sementara pada masa kekhalifahan Ali RA terjadi banyak fitnah. Hal ini tentu juga membantah klaim Syiah dari sisi kekhalifahan. Artinya, klaim yang diberikan oleh kalangan Ahlu Sunnah adalah benar.

Barangkali ada yang berpendapat bahawa golongan Syiah (pendukung dan pengikut Ali RA) terbagi dua: Ada Syiah wilayah (yang menempatkan Ali sebagai rujukan para wali) dan ada pula Syiah khilafah (yang meyakini Ali sebagai orang yang paling layak sebagai khalifah). Salahnya golongan kedua kerana tercampurnya antara politik dan kepentingan-kepentingan tertentu dalam klaim mereka. Golongan pertama, yang justru terbebas dari percampuran tersebut. Anggaplah golongan yang kedua ini bersalah kerana masalah politik dan kepentingan telah bercampur dalam klaim mereka. Akan tetapi pada golongan pertama tidak terdapat kepentingan atau keinginan politis apa pun. Tapi pada gilirannya, Syiah wilayah juga tercampur dengan kelompok Syiah khilafah.

Maksudnya, segolongan wali yang mengarungi jalan sufi memandang bahawa Saidina Ali RA sebagai orang yang paling utama. Sehingga mereka juga membenarkan klaim Syiah khilafah yang memasuki wilayah politik.

Jawaban atas pendapat tersebut adalah bahawa Imam Ali RA harus dilihat dari dua sisi: Yang pertama, sisi kepribadian baginda yang mulia dan kedudukan pribadi baginda yang tinggi. Sedangkan yang kedua adalah sisi keadaan baginda sebagai cerminan bagi rupa bentuk ahlul bait. Tentu saja sebagai saifat ahlul bait ia memantulkan substansi Rasulullah SAW

Dilihat dari sisi yang pertama, semua ahli hakikat—termasuk Imam Ali RA sendiri yang berada di garda terdepan—telah memuliakan Abu Bakar RA dan Umar RA Mereka menganggap keduanya sebagai orang yang lebih utama dalam pengabdian mereka terhadap Islam dan kedekatan mereka kepada Ilahi.


Lalu dilihat dari sisi yang kedua di mana Imam Ali RA dipandang sebagai cermin dari segi bentuk ahlul bait 1
.  Sebagai kerabat ahlul bait yang mencerminkan hakikat Muhammad   ia sama sekali tak dapat dibandingkan dengan siapapun. Dan jika ditinjau dari sisi yang kedua ini telah banyak hadis-hadis Nabi  yang isinya memuji Imam Ali RA serta menjelaskan berbagai keutamaannya. Di antaranya adalah hadis sahih yang berbunyi, “Keturunan setiap nabi berasal darinya (Adam a.s.), sementara keturunanku berasal dari Ali”/span>2.  Adapun berbagai riwayat yang terkait dengan kepribadian Ali RA dan pujian terhadapnya yang jumlahnya lebih banyak daripada khalifah-khalifah lainnya hal itu disebabkan oleh kerana kalangan ahlus sunnah telah menyebarkan berbagai riwayat yang terkait dengan Imam Ali RA guna menghadapi serangan dan celaan kaum Umaiyah dan kaum Khawarij yang ditujukan kepadanya. Sementara para khulafa ar-Rasyidin lainnya tidak mengalami kritikan dan celaan seperti itu. Dengan begitu, tidak ada alasan yang mendorong mereka untuk menyebarkan hadis-hadis yang terkait dengan keutamaan para khalifah lainnya.
Kemudian, Rasulullah ﷺ melihat dengan kaca mata kenabian bahawa Saidina Ali RA akan menghadapi berbagai peristiwa menyakitkan dan berbagai fitnah internal. Kerana itu, baginda menghibur Ali RA sekaligus mengajarkan umat Islam dengan hadis-hadis yang mulia. Misalnya, “Siapa yang aku sebagai walinya, maka Ali juga walinya”.3 Hal ini untuk menolong Ali RA dari keputus-asaan, serta untuk menyelamatkan umat ini agar jangan sampai mempunyai prasangka buruk terhadapnya.

Kecintaan berlebih yang ditampakkan oleh golongan Syiah wilayah kepada Saidina Ali RA dan sikap mereka yang mengutamakan Ali RA atas yang lain dari sisi tarekat tidak menjadikan mereka memikul pertanggungjawaban yang sama besarnya dengan yang dipikul oleh golongan syiah khilafah. Sebab, para wali tersebut memandang Ali RA dengan pandangan cinta seorang murid terhadap mursyidnya. Dan biasanya orang yang sedang mabuk cinta mempunyai sikap yang berlebihan dengan memandang kekasihnya. Begitulah sebenarnya pandangan mereka. Gejolak cinta berlebihan yang ditunjukkan oleh para wali itu masih berpeluang untuk dimaafkan dengan syarat sikap mereka yang lebih memuliakan Imam Ali RA tersebut tidak sampai ke tingkat mencela dan memusuhi para Khulafa ar-Rasyidin lainnya. Serta, tidak sampai keluar dari prinsip-prinsip dasar Islam.

Adapun golongan Syiah khilafah, kerana sudah bergelut dengan kepentingan politis, mereka tidak mungkin lepas dari sikap permusuhan dan kepentingan pribadi sehingga tidak mendapat hak untuk ditoleransi. Bahkan mereka justru menunjukkan sikap dendamnya terhadap Umar RA yang dibungkus dalam bentuk kecintaan terhadap Ali RA. Sebabnya, bangsa Iran merasa telah disakiti oleh Umar RA. Sampai-sampai sikap mereka itu sesuai dengan sebuah ungkapan yang berbunyi, “Sebetulnya bukan kerana cinta pada Ali, tetapi kerana benci pada Umar”. Tindakan Amru ibn al-Ash yang melawan Ali RA, serta tindakan Amru ibn Sa’ad yang memerangi Saidina Husein ra dalam perang yang memilukan dan menyakitkan telah mewariskan kebencian dan permusuhan yang sangat hebat bagi kalangan Syiah terhadap nama yang berbau Umar dan sejenisnya.

Sementara golongan Syiah willayah mereka tidak pernah mengkritik kalangan Ahlu Sunnah. Sebab, kalangan Ahlu Sunnah tidak merendahkan kedudukan Ali RA bahkan mereka secara tulus sangat mencintainya. Hanya saja mereka menghindarkan sikap cinta berlebihan sebab hal itu berbahaya seperti yang disebutkan dalam hadis. Adapun pujian Nabi ﷺ terhadap kelompok pengikut Ali RA sebagaimana yang terdapat dalam beberapa hadis, sebetulnya hal itu mengarah kepada kalangan Ahlu Sunnah. Sebab, mereka adalah orang-orang yang mengikuti Saidina Ali RA secara konsisten. kerana itu, mereka juga disebut sebagai Syiah (pengikut) Imam Ali RA.

Ada sebuah hadis yang secara tegas menjelaskan bahawa sikap berlebihan dalam mencintai Saidina Ali RA sangat berbahaya sama seperti bahaya yang menimpa orang-orang Nasrani ketika mereka berlebihan dalam mencintai Isa AS.4

Apabila golongan Syiah wilayah berpendapat bahawa jika Imam Ali RA telah diakui mempunyai keutamaan yang luar biasa maka sikap yang melebihkan Abu Bakar RA di atas Ali RA tidak dapat diterima, pernyataan tersebut dapat dijawab sebagai berikut:

Apabila keutamaan Abu Bakar as-Siddiq, dan Umar RA, dan jasa-jasa mereka berdua yang begitu agung dalam mewarisi kenabian diletakkan dalam sebuah sisi timbangan. Lalu keistimewaan Ali RA yang luar biasa, kerja kerasnya memimpin kekhalifahan, berbagai peperangan internal berdarah-darah yang terpaksa dilakukannya, serta prasangka buruk yang diterima sebagai akibatnya, diletakkan di sisi timbangan lainnya, pastilah timbangan Abu Bakar ash-Shiddiq RA, timbangan Umar ibn al-Khattab, atau timbangan Dzun-Nurain Utsman ibn Affan RA akan lebih berat. Inilah yang diakui oleh kalangan Ahlu Sunnah dan ini pula yang menyebabkan mereka melebihkan ketiganya.

Seperti yang telah kami sebutkan dalam kalimat ketiga belas dan kedua puluh empat pada buku al-Kalimat, martabat kenabian jauh lebih mulia dan lebih tinggi daripada derajat kewalian bahwa satu gram kenabian lebih berat daripada satu kilo kewalian. Dari sisi ini, bagian yang dimiliki oleh Abu Bakar dan Umar RA dalam mewarisi kenabian dan menegakkan hukum-hukum Islam lebih besar. Kedamaian yang terjadi pada masa kekhalifahan mereka bagi kalangan Ahlu Sunnah menjadi buktinya. Keutamaan pribadi Ali RA tidak membuat jatuh kedudukan mereka itu. Imam Ali RA telah menjadi Syaikhul Qudhot (Hakim Tertinggi) bagi kedua tokoh tersebut di masa kekhalifahan mereka. Dan ia menghormati keduanya. Bagaimana mungkin kelompok yang benar, yaitu kalangan Ahlu Sunnah, yang mencintai dan menghormati Saidina Ali RA, tidak akan mencintai dua orang yang dicintai dan dihormati oleh Saidina Ali RA?

Kami akan memperjelas masalah ini dengan sebuah contoh. Seorang yang sangat kaya membagi-bagikan warisan dan hartanya yang berlimpah kepada para anaknya. Salah satu dari anaknya itu diberi dua puluh pound perak dan empat pound emas. Sementara yang kedua diberi lima pound perak dan lima pound emas. Lalu yang ketiga diberi tiga pound perak dan lima pound emas. Tentu saja, meskipun kuantitas atau jumlah yang didapatkan oleh dua anak yang terakhir lebih sedikit dari yang pertama, tetapi dari segi kualitas apa yang mereka dapatkan lebih berharga.

Dengan contoh di atas, maka sedikit kelebihan yang dimiliki oleh Abu Bakar dan Umar yang berupa emas hakikat kedekatan Ilahi yang berasal dari pewarisan kenabian dan penegakan hukumhukum Islam lebih berat jika dibandingkan dengan banyaknya keutamaan pribadi, essensi kewalian, dan kedekatan ilahi yang dimiliki oleh Ali RA kerana itu, dalam menimbang dan memberikan .penilaian, hendaknya sisi ini harus diperhatikan. Namun, gambaran tentang hakikat tersebut akan berubah manakala penilaiannya hanya terbatas pada sisi keberanian dan pengetahuan peribadi, serta hanya terbatas pada sisi kewalian. Selanjutnya, sebagai cerminan sifat ahlul bait yang tampak dalam kepribadiannya, dari sisi pewarisan kenabian, kedudukan Saidina Ali RA tidak dapat ditandingi oleh siapapun. Sebab, rahasia agung yang dimiliki oleh Rasulullah SAW terletak pada sisi ini.

Adapun golongan Syiah khilafah, sepantasnya mereka malu terhadap kalangan Ahlu Sunnah. Sebab sebenarnya mereka telah merendahkan kedudukan Saidina Ali RA dengan pengakuan mereka yang berlebihan dalam mencintainya dan memberikan gambaran yang buruk tentang akhlak Ali RA. Mereka berkata, “Saidina Ali RA senantiasa mengikuti Abu Bakar as-Siddiq RA dan Umar al-Faruq meskipun keduanya salah. la selalu menjaga diri dari sesuatu yang ia takuti dari keduanya”. Sikap inilah yang oleh kelompok disebut dengan istilah taqiyyah. Artinya, Saidina Ali RA takut kepada ke duanya (Abu Bakar dan Umar) serta selalu bersikap riak terhadap keduanya dalam beramal. Demikianlah gambaran yang mereka berikan terhadap pahlawan Islam yang agung yang bergelar “Singa Allah” yang telah menjadi pemimpin bagi prajurit as-Siddiq dan telah menjadi menteri bagi keduanya. Menurutku, tindakan mereka yang telah menggambarkan Saidina Ali RA sebagai orang yang bersikap riak, takut, pura-pura cinta pada orang yang sebenarnya tak dicintainya, serta taat dan tunduk kepada dua tokoh yang berbuat salah selama lebih dari dua puluh tahun kerana rasa takut sama sekali bukanlah bagian dari cinta. Saidina Ali RA berlepas diri dari kecintaan yang semacam itu.

Sementara itu, kelompok al-haq (Ahlu Sunnah) tidak pernah merendahkan martabat Saidina Ali RA dari sisi mana pun pula. Mereka juga tidak memberikan tuduhan yang buruk terhadapnya, serta tidak pernah menggambarkan sang pahlawan pemberani itu sebagai penakut. Mereka berpendapat, “Seandainya Saidina Ali RA tidak melihat kebenaran pada Khulafa ar-Rasyidin semenit pun ia tidak akan memberikan loyalitasnya kepada mereka. Dan tak mungkin ia akan tunduk pada pemerintahan mereka”. Artinya, Ali RA telah mengetahui bahawa mereka (Khulafa ar-Rasyidin) berada di atas kebenaran. Ia juga mengakui kemuliaan mereka sehingga mau mengorbankan keberaniannya yang luar biasa kerana cinta pada kebenaran.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahawa sikap ekstrim dan berlebihan dalam hal apapun juga tidaklah baik. Sikap istiqamah adalah sikap pertengahan yang dipilih oleh kalangan Ahlu Sunnah. Akan tetapi sayang sekali, sebagaimana beberapa pemikiran kelompok Khawarij dan Wahabiah dibungkus dengan lebel Ahlu Sunnah, segolongan orang yang tertarik dengan politik dan segolongan orang yang menyimpang mengkritik Saidina Ali RA dengan berkata, “Ia (Ali RA) sama sekali tidak tepat untuk memimpin kekhalifahan sebab ia bodoh dalam masalah politik. kerana itu, ia tidak mampu memimpin umat di masanya”.

Tuduhan batil semacam itu tentu saja membangkitkan kemarahan dan ketidaksenangan kalangan Syiah terhadap kalangan Ahlu Sunnah. Padahal prinsip dan landasan pendirian Ahlu Sunnah tidak seperti itu bahkan sebaliknya, kerana itu, Ahlu Sunnah tak dapat dirosakkan dengan memasukkan pemikiran-pemikiran yang bersumber dari kalangan Khawarij dan orang-orang yang menyimpang itu. Bahkan, kalangan Ahlu Sunnah merupakan orang-orang yang lebih loyal dan lebih cinta terhadap Saidina Ali RA dibandingkan dengan kalangan Syiah. Dalam setiap ceramah dan dakwahnya, mereka selalu menyebutkan pujian dan kemuliaan yang pantas dimiliki oleh Saidina Ali RA. Apalagi para wali dan para sufi sebahagian besarnya berasal dari kalangan Ahlu Sunnah. Mereka menjadikan Saidina Ali RA sebagai mursyid dan pemimpin mereka. kerana itu, sepantasnya kalangan Syiah meninggalkan kaum Khawarij dan kelompok sempalan yang sebenarnya merupakan musuh Syiah dan sekaligus Ahlu Sunnah dan tidak beroposisi dengan kalangan Ahlu Sunnah. Sampai-sampai ada sebahagian dari kalangan Syiah yang sengaja meninggalkan sunnah Nabi ﷺ kerana benci terhadap Ahlu Sunnah.

Bagaimanapun, kami telah membahas masalah ini secara panjang lebar. Masalah tersebut juga telah banyak dikaji di antara para ulama.

Wahai kelompok al-haq, yaitu kalangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah! Wahai kalangan Syiah yang telah menjadikan kecintaan pada ahlul bait sebagai jalan kalian!

Buanglah segera konflik yang tak ada artinya, batil dan berbahaya antara kalian. Jika kalian tidak membuang konflik tersebut, maka kaum kafir yang saat ini berkuasa secara kuat akan menyibukkan kalian dengan saling bertengkar antara yang satu dengan yang lain. Serta, mereka juga akan mempergunakan salah satu di antara kalian sebagai alat untuk membinasakan lainnya. Setelah kelompok tadi binasa, alat itupun akan ikut hancur binasa. kerana itu, kalian harus cepat-cepat membuang hal-hal sepele yang dapat menimbulkan konflik. Sebab kalian adalah ahli tauhid. Pada kalian ada ratusan ikatan suci yang dapat menjadi faktor pendorong bagi terwujudnya persaudaraan dan persatuan.

B. BAHAGIAN KEDUA

Bahagian kedua ini akan dikhususkan untuk menjelaskan ayat al-Quran yang berbunyi:


Katakanlah: "Aku tidak meminta kepada kamu sebarang upah tentang ajaran Islam yang aku sampaikan itu, kecuali kasih mesra disebabkan pertalian kerabat persaudaraan".
(Asy-Syuura 42:23)
[NOTA: Bagi bahagian ini, ia mempunyai risalahnya yang tersendiri. Penulis (Said Nursi) telah menyatakannya dalam Lama'ah ke-11.]





DIPNOTE


  1. Dalam kitab Manaqib al-Imam Ahmad, di halaman 163 Ibn ]auzi berbicara tentang orang-orang yang lebih utama. Di situ Abdullah ibn Ahmad ibn Hambal bertanya kepada ayahnya, “Wahai Ayahku, bagaimana menurutmu tentang tafdhil (orang yang lebih utama)?” la menjawab, “Dalam hal kekhalifahan, Abu Bakar, Umar, dan Usman”. Abdullah bertanya lagi, “Lalu bagaimana dengan Ali ibn Abi Thalib?” Ayahnya menjawab, “Wahai anakku, Ali ibn Abi Thalib termasuk ahli bait. Ia tidak dapat diukur dengan siapapun”.

  2. Hadis tersebut berbunyi, "Allah Taala menjadikan keturunan setiap anak Adam berasal darinya, sementara Dia menjadikan keturunanku berasal dari Ali ibn Abi Thalib".
    Hadis ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dengan no. 2630 dari Jabir RA. Dalam sanadnya terdapat Yahya tukang pembohong. Adz-Dzahabi memuat hadis tersebut dalam buku al-Mizan, 4: 398. Demikian pula dengan al-Haitsami dalam al-Majma 10: 333. Di dalam periwayatannya ada Yahya ibn al-Ala yang hadisnya ditinggalkan. Selain itu hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Khatib dalam at-Tarikh dari Ibn Abbas RA. Ibn Jauzi berpendapat hadis tersebut tidak sahih kerana di dalamnya ada al-Mirzabani yang menurut al-Katib dikenal sebagai pembohong. Lalu sesudah ia sampai kepada al-Mansur, para perawi hadisnya antara tidak dikenal dan tidak boleh dipercaya. Dalam al-Mizan 2: 586, adz-Dzahabi berkata bahawa identiti Abdurrahman ibn Muhammad al-Hasib tidak diketahui. Menurut al-Khatib, berita yang berasal darinya bohong lalu ia menyebutkan hadis di atas. Lihat pula Faidhul Qadir, 2: 223-224 dan Dhaif al-jami ash-Shaghir no. 1589.

  3. Hadis sahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad 4: 368, 370, dan 382. Juga oleh at-Tirmidzi dengan no. 3797, oleh Ahmad dalam Fadha'il ash- Shahabah dengan no. 959, 1007,1021, 1048, 1167, dan 1206. hadis tersebut diperkuat oleh sepuluh sahabat. Lihatlah penjelasan hal itu dalam al-Ahadis ash-Shahihah dengan no. 1750. Menurut Ibn Hajar, hadis ini memiliki banyak jalur periwayatan sebagaimana yang dirangkum oleh Ibn Uqdah dalam satu bab, ada yang sahih dan ada pula yang hasan. Lihat dalam al-Faidh 6: 219. Walaupun hadis ini telah mencapai darjat mutawatir, Ibn Hazam dan Ibn Taimiyyah tetap mengatakannya sebagai hadis yang dhaif (lemah).

  4. Bunyi hadis tersebut: Imam Ali RA berkata bahawa Rasulullah  telah bersabda: “Wahai Ali dalam dirimu ada yang sama dengan Isa. Bangsa Yahudi sangat membencinya sampai-sampai mereka menyebarFnakan kebohongan tentang ibunya. Sebaliknya bangsa Nasrani sangat mencintainya sampai-sampai mereka memposisikan Isa tidak pada tempatnya”.
    Ali berkata: “Ada dua orang yang binasa keranaku. Yang pertama, orang yang keterlaluan dalam mencintaiku dan orang yang keterlaluan dalam membenciku”. Ini diriwayatkan oleh Abdullah dalam Ziyadat al-Musnad 10:160, an-Nasa’i dalam al-Khasha'is 27, Ibn Jauzi dalam al-'llal al-Mutanahiyah 1: 223, oleh al-Bukhari dalam at-Tarikh 2: 1: 257, Ahmad dalam kitab Fadho'il ash- Shahabah dengan no. 1087, 1221-1222. Sanadnya lemah kerana ada al-Hakam ibn Abdul Malik al-Qurasyi. Lihat biografinya dalam al-Mizan 1: 577